PENYESALANKU DAN MAAFMU
MAHMUD JAUHARI ALI
Dahulu, pada waktu tinggal di kota Banjarbaru, aku sangat menyukai segala hal yang berbau porno. Mulai dari membicarakan masalah-masalah, menonton VCD porno, hingga akibatnya sering melakukan onani. Sering juga kugoda wanita-wanita cantik yang melintas dihadapanku, tanpa memperdulikan apakah mereka marah atau tidak.
Aku masih ingat, hari itu hari selasa. Bersama Firmansyah, aku menonton VCD porno dirumahnya. Tak pelak lagi, gairah seksku pun bangkit seperti biasanya. Dalam benakku, aku juga ingin melakukan seperti apa yang dilakukan oleh aktor dan aktris dalam adegan panas di VCD porno itu..
“Sayang tidak ada wanita di sini, ya!”, kata Firmansyah kepadaku.
“Benar, jika ada wanita pasti makin asyik, sahutku. Kami terus menontonnya hingga selesai.
Dalam perjalanan pulang, aku bertemu seorang gadis cantik seusiaku yang selalu kugoda setiap bertemu dengannya. Sore itu aku tidak menggodanya. Karena sulit kukeluarkan kata-kata mesra dari mulut. Yang kurasakan saat itu hanya gairah seks yang semakin menyelimuti jiwaku.
“Assalamu’alaikum “, sapa gadis itu padaku saat itu melintas dihadapanku.
Aku terdiam tanpa membalas salamnya. Kuikuti dia dalam jarak yang tidak terlalu jauh dan tidak pula terlalu dekat. Sampai dijalan setapak menuju rumahnya, ditengah sawah yang sunyi itu, timbul niatku untuk melampiaskan gairah seksku pada tubuh gadis itu dengan cepat aku mendekati dan membawanya secara paksa sambil menutup mulutnya dengan tanganku kesebuah gubuk tua yang digunakan petani tidur jika mereka kemalaman berada di sawah.
Dalam gubuk yang reot itu, aku berusaha memperkosanya. Tapi, tinggal satu langkah lagi tiba-tiba terdengar suara dua orang wanita yang menuju ke gubuk itu. Aku pun langsung panik tak pikir panjang kutinggalkan gadis itu dengan tangis lirihnya dari tempat itu.
Untunglah, gadis itu tidak tahu siapa namaku dan dimana tempat tinggalku. Sehingga ia tidak dapat menemukanku. Dua bulan berikutnya, aku bersama ayah dan ibuku pindah rumah ke kota lain. Kalua nama kota itu. Ayahku dimutasikan dari kantornya yang lama ke tempat yang baru.
Hampir sebulan aku tak punya teman yang dapat kupercaya di kota Kalua. Maklum, namanya saja pendatang baru.
Seperti dugaanku, orang-orang di sana termasuk anak mudanya tidak begitu modern. Di antara masyarakatnya tidak ada yang membuka warung internet dan hanya sedikit yang menyewakan VCD, itupun hanya VCD biasa. Hingga bosan rasanya tinggal disana. Namun, keadaan seperti VCD malah membuatku menjadi rajin membaca, baik membaca bacaan porno, maupun bacaan-bacaan lainnya termasuk buku-buku pelajaran sekolah. Oleh karena kerajinaku membaca itulah, tak kusangka pada ulangan umum kelas tiga caturwulan kedua, aku meraih peringkat pertama dikelas, di SMU baruku itu.
“Hebat kamu Mur ! baru pindah, kau sudah menjadi juara, “kata seorang temanku.
“Hei, kau punya ajian apa ?, sahut temanku yang lain.
Aku hanya tersenyum, dalam pikiranku itu hanyalah kemujuranku dan aku tetaplah merasa hanya seorang anak remaja bodoh yang gemar terhadap hal-hal berbau porno.
Menjelang ujian akhir nasional dua orang termasuk, yakni Somad dan Hairi mengajakku belajar bersama. Menurut mereka, tiga otak jika disatukan, maka hasilnya akan lebih baik daripada satu otak. Aku heran, dalam otak mereka seakan-akan tidak ada pikiran tentang wanita, apalagi mengenai seks. Kalau bukan masalah ekonomi keluarga dan agama, yang mereka pikirkan adalah masalah pelajaran sekolah oleh karena itu, aku enggan membicarakan masalah wanita dan seks dengan mereka. Sebab, takut kalau mereka menjauhiku.
Tiga hari sekali kami pun belajar bersama dirumahku.
“Mur! Sepengetahuanmu, maksud dari kekuasaan kehakiman yang bebas itu apa sih?”, tanya Somad kepadaku.
“Artinya, lembaga kehakiman itu bebas tidak memihak dan tidak terpengaruh oleh kekuasaan lain”, jawabku.
“Eh, yang termasuk kebijaksanaan moneter itu apa saja? Aku lupa nih.”, tanyaku kepada mereka.
“Oh …… kalau itu ….. tunggu sebentar, kucarikan dulu dalam buku ini “,kata Hairi padaku.
Kemudian ia melanjutkan perkataannya ; “kebijaksanaan moneter itu meliputi politik suku bunga, politik pasar terbuka, dan politik diskonto”. Aku dan Somad menyimak penjelasan Hairi itu sambil mengangguk-anggukkan kepala.
Hal-hal seperti itulah yang kami bicarakan dalam belajar bersama tersebut.
Tidak sia-sia apa yang kami lakukan dalam belajar bersama itu. Karena, kami bertiga akhirnya lulus dan mendapatkan NEM yang tinggi. Namun sayang pada ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri, hanya aku dan Hairi yang diterima di perguruan tinggi negeri. Aku di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lambung Mangkurat dan Hairi di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman.
**********
Selama di Kalua, aku sadar bahwa segala hal yang berbau porno bukanlah hal yang baik untukku dan aku menyesali perbuatanku terhadap gadis cantik yang hampir kuperkosa di kotaku dulu. Aku pun berniat untuk meminta maaf kepadanya. Sebab aku tahu bahwa dosaku hanya dapat dimaafkan oleh gadis itu. Allah SWT tidak akan mengampuniku, sebelum aku mendapatkan maaf darinya.
Semester pertama, kedua, dan ketiga di FKIP Unlam Banjarmasin sudah kulalui. Selama kuliah hingga tiga semester tersebut, aku selalu teringat dengan kesalahanku pada gadis itu yang belakangan aku tahu, namanya adalah Latifah. Temanku yang bernama Wardah memberitahu namanya kepadaku bulan lalu. Kata temanku itu sudah satu setengah tahun lalu, Latifah yang yatim piatu itu pindah dari kota Banjarbaru. Mengenai alamat barunya, Wardah tidak mengetahuinya.
Pendaftaran ulang semester baru bagi mahasiswa Unlam Banjarmasin sudah dimulai. Saat itu, aku mendaftar ulang pada hari pertama. Di tempat pendaftaran ulang tak ada orang, karena hari masih terlalu pagi. Hanya suara kicauan burung dan dinginnya udara pagi yang menemaniku di sana. Tak berapa lama terdengar suara langkah kaki orang, aku segera menoleh ke arah datangnya suara itu. Terlihatlah oleh seorang wanita dengan mengenakan serudung putih dan jubah berwarna biru muda. Waktu itu aku benar-benar terkejut, jantungku tiba-tiba berdegub kencang seiring lentingan waktu, dan perasaan gugup datang menyertaiku. Sebab, wanita yang baru datang itu adalah Latifah. Dia memandangku dengan sangat tajam. Aku hanya terdiam, yang ada dalam pikiranku hanya ada rasa bersalah dan penyesalan. Tapi anehnya ia sama sekali tidak mendamprakku. Dia segera pergi dari tempat itu. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah registrasi, aku tidak langsung pulang ke kostku. Aku singgah dan sholat dhuha dulu di mesjid yang ada di dalam lingkungan Unlam Banjarmasin. Seperti biasanya, setelah kupanjatkan doa kepada Allah SWT agar Latifah mau membukakan pintu maafnya untukku. Dua hari telah berlalu, pagi itu aku mencuci pakaian di sungai. Tak sengaja ketemukan sebuah dompet yang hanyut terbawa arus sungai. Dompet itu berisi uang Rp. 500.000,- KTP, kartu mahasiswa dan kartu-kartu lainnya. Dari KTP dan kartu mahasiswa tersebut, aku mengetahui bahwa dompet yang baru ketemukan itu adalah milik Latifah.
**********
Sekitar pukul empat sore, aku ke kost Latifah . kuketuk pintu kostnya sambil mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam”, jawab seorang wanita dari dalam saat itu yang membukakan pintu adalah temannya.
“Maaf mengganggu, apakah benar Latifah yang kuliah di Fakultas Ekonomi, jurusan Ekonomi Pembangunan Unlam tinggal di sini”, tanyaku.
“Benar, benar sekali, ia tinggal disini, kamu temannya?”
“Bukan, aku hanya ingin mengantarkan dompetnya”.
“Oh …. Tunggu sebentar ya ! kupanggilkan dia dulu. Eh, duduk dulu deh !”.
“Terima kasih”.
Suara langkah kaki terdengar mendekatiku dan terlihat wajah cantik dengan mata yang indah memandangku.
“Kau!”, ucapnya.
“Ya, aku. Sebelumnya aku minta maaf telah lancang menginjakkan kakiku ke kostmu ini. Aku tak ada niat buruk terhadapmu, kecuali ingin mengantarkan dompetmu ini kepadamu”.
“Letakkan saja dompet itu diatas meja dan kau pulanglah!”.
Aku pun langsung mengucapkan salam dan mohon diri pikirku, kalau aku berlama-lama di sana, ia pasti akan bertambah marah padaku.
Sebulan berikutnya di warung makan aku bertemu dengannya. Saat itu aku membayarkan uang makamnya dan setelah ia tahu, aku langsung pergi meninggalkan warung itu. Dengan berbuat itu aku berharap ia mau memperkecil kemarahannya padaku.
Di perpustakaan pusat Unlam Banjarmasin, aku duduk sendiri dengan ditemani sebuah buku di tanganku. Memang diperpustakaan itu pada pukul 9.00 hingga pukul 10.00 pagi selalu sepi oleh pengunjung. Bersama seorang temannya Latifah datang ke tempat itu dan setelah melihatku ia langsung menghampiriku.
“Nih! Uangmu yang 2.500 rupiah kemarin. Aku tak butuh uangmu untuk membayar uang makanmu”, ucapnya sambil meletakkan uangnya di atas meja.
“Tapi aku benar-benar ikhlas membayarkan uang makanmu kemarin,”kataku padanya.
Lalu ia juga menyerahkan empat lembar uang puluhan ribu rupiah kepadaku. Aku bingung melihatnya. Katanya uang uang itu sebagai pengganti jasaku atas pengembalian dompetnya.
“Tifah, aku sungguh ikhlas mengembalikan dompetnya, tidak ada harapan balas jasa darimu. Kalau kau memang berniat membalas jasaku, maka hanya meminta kesediaanmu untuk memaafkanku atas kesalahanku padamu dulu digubuk tua itu.”, kataku dengan nada memelas.
“Kesalahanmu yang dulu terlalu besar untuk dapat kumaafkan. Dan kau jangan lagi mendekatiku, karena orang sehina dirimu tidak pantas mendekatiku, berbicara padaku, apalagi mendapatkan maaf dariku. Asal kau tahu, perbuatanmu dulu seperti binatang yang ingin mendapatkan kepuasan seks, tanpa memperdulikan aturan yang ada”.
Ingin rasanya aku menangis mendengar kata-katanya itu, tapi kutahan dan aku sadar bahwa aku pantas menerimanya. Lalu iapun pergi meninggalkanku.
Hampir dua semester aku tidak mendekatinya. Karena aku masih ingat dengan kata-katanya dulu. Walaupun demikian, aku selalu berdoa agar ia mau memaafkanku.
Liburan kuliah hampir habis, aku pun segera ke Banjarmasin. Setelah tiba di terminal taksi pasar Hanyar Banjarmasin, kulanjutkan perjalanku menuju kost dengan taksi kota jurusan jalan Hasan Basri. Untunglah ketika aku menumpangi taksi tersebut, penumpangnya hampir penuh, sehingga aku tidak perlu menunggu lama hingga taksi tersebut jalan. Sungguh perjalanan yang melelahkan. Tapi kelelahanku tiba-tiba lenyap, tatkala kulihat Latifah duduk di samping kiriku dalam taksi yang sama-sama kami tumpangi.
Ketika di jalan S. Parman, ia menyuruh sopir untuk berhenti. Dengan tergesa-gesa ia turun dari taksi, mungkin karena tak tahan melihatku. Saat itu setelah ia meletakkan uang ongkos taksi disamping depan setir, ia langsung ingin turun. Padahal taksi masih berjalan pelan. Aku yang duduk di pinggir pintu segera mencegahnya, karena kulihat ada sebuah becak yang sedang berjalan di samping taksi tersebut Latifah yang tidak mengetahuinya terus berusaha ingin turun. Oleh karena ingin menyelamatkannya, malah aku sendiri yang terjatuh dan akibatnya kaki kananku terlindas ban becak yang bermuatan penuh. Ditambah lagi tangan kiriku terkena rantai becak, untunglah jariku tidak ada yang putus. Orang-orang membawaku yang sudah setengah sadar ke rumah sakit terdekat.
Banyak temanku yang membesukku, termasuk Latifah. Ia datang pada waktu pagi, satu hari setelah kejadian itu.
“Assalamu’alaikum”, sapanya kepadaku.
“Wa’alaikumussalaam”, jawabku.
“Bagaimana keadaan? Semakin membaik’kan?
“Ya …. Beginilah. Terima kasih kau mau menjengukku.”
“Mungkin aku salah menilaimu. Dulu, kau memang bajingan, tak tahu aturan dan sopan santun. Aku menggangapmu orang yang paling jahat dan gila. Tetapi, setelah bertemukan di sini, aku melihat kau telah berubah menjadi lebih baik daripada yang lalu. Kau telah mengembalikan dompetku, membayarkan uang makanku, dan kini kau terbaring sakit karena menyelamatkanku. Tak pantas kalau orang yang bertaubat sepertimu, tidak kuberi maaf atas kesalahanmu di masa lalu terhadapku.”
“Jadi, yang mau memaafkanku? “,tanyaku dengan isakan tangisku “Ya,ya,ya, aku memaafkanmu dengan penuh keikhlasan.”
Mendengar itu aku sangat bahagia, tak ada kata yang terucap dari mulutku selain alhamdullilah dan terima kasihku kepada Latifah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar