Sabtu, 05 Januari 2008

CERPEN 2 MAHMUD JAUHARI ALI

Biarkan Hutan Kita Hijau


Mahmud Jauhari Ali


Di bawah rembulan dan bintang-bintang dan di atas permukaan sungai Mahakam sering terlihat beberapa orang menyusuri sungai itu. Mereka tidak memakai perahu, melainkan menggunakan gelondongan-gelondongan kayu yang diikat tiga-tiga dan sengaja dibawa dari hutan di daerah pedalaman ke suatu tempat. Sudah puluhan tahun kegiatan ilegal itu dilakukan berulang-ulang. Waktu terus berlalu seiring lentingan waktu dan semakin banyak pula akar-akar pohon besar yang kehilangan daun, ranting, dan batangnya di daerah pedalaman itu.
Keadaan itulah yang sering dipaparkan Joni Surya Bintu kepada teman-temannya di kampus. Pemuda itu telah dua tahun menuntut ilmu di Fakultas Kehutanan Universitas Lambung Mangkurat. Sejak kecil Surya akrab dengan hutan di pedalaman Kalimantan Timur. Maklum, ia adalah keturunan asli suku Dayak Kenyah Bakung yang mendiami daerah pedalaman Kutai Kertanegara. Bersama ayah, ibu, dan kedua kakaknya, ia mengumpulkan getah dari pohon karet di hutan setiap hari sebagai mata pencaharian hidup keluarga mereka.
Setelah beranjak remaja ia mulai perduli dengan kelestarian hutan di sekitar daerahnya yang kian hari kian terancam kepunahannya. Baginya hutan adalah tempat yang paling indah untuk dinikmati dan paling berharga di dunia ini. Ia juga aktif menulis artikel-artikel di surat kabar lokal Kalsel yang berisi kritikan-kritikan tajam yang ditujukan kepada orang-orang yang tidak mencintai alam. Bahkan kritikannya sering ditujukan kepada pemerintah.
“Sudah terima honorium?” tanya Akhmad Hasan kepada Surya yang sedang duduk di depan ruangan BEM fakultasnya.
“Honorium apa ?” tanya Surya.
“Ya honoran atas artikelmu yang diterbitkan kemarin”, jelas Hasan.
“ Oh itu. Dengar ya San! Aku menulis artikel dan mengirimkannya ke redaksi surat kabar tiga hari yang lalu dan yang terdahulu-dahulu itu, bukan untuk mencari uang sebagai honoriumku, melainkan untuk menyadarkan orang-orang mengenai betapa bahayanya penebangan liar yang selama ini semakin merajalela”.
“ Maaf aku hanya bercanda”, pinta Hasan. “Sebenarnya aku dan teman-teman yang lain sudah tahu tentang niat baikmu itu”, tambahnya.
Sementara orang-orang yang terlibat dalam penebangan liar tidak suka dengan apa yang ditulis Surya dalam artikel-artikelnya itu. Mereka merasa terusik oleh kata-kata tajam yang dilontarkan Surya sebagai isi dari kritikannya. Selain menulis artikel yang sarat isi, surya juga aktif dalam unit kegiatan Mahasiswa Pencinta Alam sehingga ia sering pergi ke tempat-tempat pedalaman, baik di Kalimantan maupun di luar Kalimantan. Ia melihat rata-rata hutan di Indonesia terancam kelestariannya.
“Sebagian pohon di hutan-hutan di Indonesia disikat habis. Pohon yang besar ditebangi dan kini pohon-pohon yang kecil juga dibakar untuk perluasan lahan.”, kata Surya dengan nada sedih.
“Yah, itulah keserakahan sebagian manusia”, sahut Zulkifli.
“ Sungguh aku tak habis pikir dengan perbuatan mareka itu. Seakan-akan mareka tidak memikirkan dampak negatif atas apa yang mareka lakukan.
“Kita tidak bisa diam begitu saja menyaksikan keadaan yang sangat memprihatinkan ini. Kita harus menghubungi dan meminta pertanggungjawaban kepada Dinas Kehutanan masing-masing daerah yang kita kunjungi termasuk daerah ini.”, kata Surya dengan penuh semangat.
“Ya! kita memang harus melakukannya.”, Syaiful membenarkan kata-kata Surya.
Mareka sepakat meminta penjelasan mengenai kerusakan-kerusakan hutan kepada Dinas Kehutanan. Rata-rata setiap Dinas Kehutanan di daerah yang mereka kunjungi mengatakan bahwa mareka telah berupaya keras untuk menangani masalah tersebut. Bulan berganti bulan dan penebangan liar serta pembakaran hutan masih tetap ada. Surya semakin sibuk dengan hal-hal yang harus dikerjakannya , baik diluar kegiatan perkuliahan maupun di dalam perkuliahan terutama dalam penyusunan skripsi. Dalam skripsinya ia membahas masalah Analisis Kandungan Tanah sebagai Lahan Reboisasi Hutan di Daerah Danompari Kalimantan Timur.
Setelah mendapat gelar Sarjana, Surya menetap di tempat kelahirannya. Banyak yang ia lakukan di desanya, selain membantu ayah dan ibunya mengurus kebun karet milik mareka, ia juga bekerja sebagai staf di Dinas Kehutanan yang ada di daerahnya. Tindakan-tindakan Surya dalam melestarikan hutan di daerahnya tentu saja tidak disukai para penebang liar. Mereka pun tidak tinggal diam membiarkan Surya berbuat seperti itu. Mareka terus meneror Surya, baik lewat pesan singkat (SMS) maupun mendatangi rumah orang tuanya untuk memperingatkan Surya atas tindakannya itu. Orang tuanya sama sekali tidak mematahkan semangat perjuangan Surya, justru mengobarkan semangat anak mareka itu untuk tetap berjuang melestarikan hutan. Sebab, bagi mareka hutan adalah warisan nenek moyang mareka secara turun-temurun.
“ Kami akan tetap mendukungmu.”, kata Bu Marya yang merupakan Ibu kandung Surya.
“ Kita harus melapor ke pihak polisi mengenai ancaman-ancaman yang kita alami ini”, Ayah Surya ikut memberikan komentar.
“Ayah benar, kita harus melaporkan hal ini kepada polisi dengan resiko menerima kemarahan mereka.”, kata seorang kakak Surya.
“Mengenai apakah mareka semakin marah atau tidak bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti. Kalaupun mareka melaksanakan apa yang mareka ancamkan tempo hari, kita akan melawan mareka. Hutan ini adalah hutan suku kita sejak beratus-ratus tahun yang lalu dan juga merupakan hutan milik bangsa Indonesia tak peduli dari suku bangsa mana, karena itu harus kita jaga bersama pula. Kita tidak boleh membiarkan orang-orang yang tak bertanggungjawab merusaknya”, tegas Surya dengan suara lantang.
Pada tahun yang sama, pak Idrus dan pak Ifrit beserta rekan-rekan bisnis mareka marah besar kepada orang-orang desa dan polisi yang telah menggagalkan misi mareka mengambil kayu hutan secara liar.
“Setan alas!”, maki Pak Ifrit. “Keparat mareka! Berani sekali mareka menggagalkan pekerjaanku dan menangkap anak buahku. Aku harus membuat perhitungan kepada mareka, terutama kepada si Surya yang sok pintar itu”, tambahnya dengan nada gerang.
“Bos punya rencana untuk membuat perhitungan kepada mareka ?” tanya seorang anak buahnya.
“Ya! Aku berencana membunuh Surya dan membakar kampung orang-orang bodoh itu dan kalianlah yang akan melaksanakannya.”
Keesokan harinya mareka mulai melaksanakan perintah Pak Ifrit itu. Akan tetapi, mereka gagal. Berkat rahmat Allah dan kerja sama masyarakat dan polisi setempat, pak Idrus bersama komplotannya ditangkap dan disidang. Putusan hakim sangat membahagiakan hati Surya dan orang-orang di desanya.
“ Kini, walaupun Pak Ifrit telah tertangkap. Namun, kita harus tetap menjaga hutan ini. Sebab, aku yakin masih banyak Pak Ifrit- Pak Ifrit yang lain di bumi ini. Ingat! kita harus selalu menjaga kelestarian hutan kita!” seru kapolda setempat kepada seluruh warga pada acara temu desa di balai desa.

Tidak ada komentar: