Minggu, 13 Juli 2008

CERPEN SEMBILAN MAHMUD JAUHARI ALI

Mata Pisau

Cerpen Mahmud Jauhari Ali

Aku sedang asyik dengan buah-buah segar yang kubawa dari rumahku. Buah-buah yang membuat hati orang ingin menyantapnya sampai habis. Saat itu matahari sedang memancarkan cahayanya tepat di atas diriku. Untung aku masih memakai topi sehingga kepalaku tidak ikut panas seperti aspal jalan yang langsung menerima sinar sang surya. Panasnya hari membuat orang-orang mendatangiku untuk mencari kesegaran buah-buah daganganku. Ada lima piring kecil di hadapanku. Segera kuisi kelimanya dengan buah-buah segar yang kuiris-iris halus. Ketajaman mata pisauku mempercepat penuhnya piring-piring kecil tempat para pelangganku menyantap kesegaran. Mereka pun dengan lahap menyantap irisan-irisan buah segar. Buah-buah yang mereka makan berasal dari kebun kesayanganku. Kedua anakku—Budi dan Yoga—sudah remaja. Mereka berdua dan istriku membantuku merawat kebun yang sudah lama menemani kami sekeluarga.
Setiap hari aku berdekatan dengan beragam buah. Kedua tanganku telah sangat akrab dengan kuning, putih, jingga, dan merahnya buah. Dengan tiga roda aku kayuh terus gerobak kecil berisi buah-buahku keliling kota yang kini udaranya mulai tak ramah lagi. Sudah enam belas tahun aku berkutat pada buah dan pisau. Semua jalan di kotaku telah kutelusuri. Mulai dari jalan yang baik hingga jalan rusak yang belum diperbaiki oleh pihak yang bertanggung jawab. Berbagai karakter manusia pun sudah kutemui. Ada yang pemarah, santun, dan sebagainya. Wajah-wajah cantik, tampan, dan lumayan, kerab singgah di hadapanku. Orang-orang itulah yang menikmati segarnya irisan buah-buah dari kebunku. Kadang kunikmati juga buah kesenanganku—nenas—di sela-sela kesibukanku. Teriknya sinar matahari dan guyuran air hujan kadang menemaniku dalam mengayuh roda sumber penghidupanku yang diberikan-Nya kepadaku. Aku pun menerimnya dengan lapang dada.
Siang itu tidak seperti biasanya. Tepat di hadapanku terlihat seorang pemuda roboh terkena beberapa mata pisau di tubuhnya. Seragam satpamnya yang putih ternodai dengan darahnya sendiri yang masih segar sewarna dengan kulit buah jambuku. Ia mencoba menangkap dua orang perampok sadis yang menyatroni toko emas milik pengusaha Cina. Perampoknya lari dengan cepat. Entah apakah ia lari karena melihat banyak orang berdatangan ataukah karena mereka sedang terburu-buru hendak menjual barang hasil rampasan mereka ke penadah. Segera kutolong pemuda itu setelah kutinggalkan buah daganganku di pinggir jalan. Orang-orang pun berkerumunan menyaksikan akibat aksi sadis dari para perampok. Kami membawanya ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan bagi si satpam malang. Resiko petugas keamanan memanglah berat, bahkan bisa-bisa nyawa taruhannya. Kulihat wajahnya yang menandakan rasa sakit yang luar biasa sedang dirasakannya saat itu. Ia memintaku untuk tidak meninggalkannya karena ia tidak punya keluarga. Dengan singkat ia katakan kepadaku bahwa ia dibesarkan di panti asuhan dan kini ia sebatang kara tanpa keluarga. Aku turuti permintaannya. Empat orang yang juga ikut ke rumah sakit memiliki alasan yang tak dapat kusanggah untuk meninggalkan pemuda itu.

***

Kini aku duduk sendiri menunggu proses operasinya selesai dijalankan tim dokter ahli. Masih terbayang olehku wajah salah seorang perampok itu. Sekilas wajahnya mirip dengan temanku yang sudah lama tidak berjumpa denganku, Mansyah. Akan tetapi, salah seorang perampok tadi bukanlah temanku karena temanku tentulah tidak semuda itu lagi. Mansyah adalah temanku saat aku masih sangat muda dulu. Masa itu sudah lewat tujuh belas tahun yang silam. Aku masih ingat, kami sering bersama menghabiskan masa muda dengan hura-hura. Uang dengan mudah kami dapatkan tanpa harus bekerja keras. Sering kami habiskan puluhan ribu rupiah hanya untuk satu malam di meja judi. Botol-botol minuman keras selalu ada di sisi kami kala siang hari menyapa mata kami yang masih merah. Pisau selalu ada di selipan celana kami. Merampas dan melukai orang bukanlah perkara serius bagi kami kala itu. Pernah aku masuk rumah sakit karena perutku robek terkena sabetan pedang perampok lain dalam perebutan wilayah kekuasaan. Mata pisauku tidak dapat mengalahkan tajamnya pedang musuh. Saat itu aku sadar bahwa aku sebenarnya tak sekuat dugaanku. Sejak itu kuputuskan untuk tidak lagi terjun di dunia hitam penuh dosa. Temanku—mansyah—bersikeras meneruskan kejahatan saat aku mengajaknya keluar dari lingkaran nafsu dan antikasih sayang terhadap sesama.
Kutarik nafasku dalam-dalam dan kusadarkan diriku bahwa itu hanyalah perkara masa silam yang harus kulupakan. Mansyah kini masih dipenjara karena kesalahannya membunuh seorang pengusaha kayu. Aku kadang-kadang menjenguknya di sana. Rasa penyesalan yang dalam terlihat di raut wajahnya. Sebenarnya aku tidak ingin lagi mengingat perbuatan tidak terpuji kami itu, tetapi kejadian siang tadi telah memaksa kenangan itu kembali muncul dalam otakku. Aku selalu sedih dan merasa bersalah dengan penuh penyesalan atas perbuatan bejatku pada masa silam. Aku hembuskan nafasku dan kugeleng-gelengkan kepalaku menyesali diriku yang teramat kejam merampas harta orang-orang dan menumpahkan darah mereka pada masa yang telah lewat.
Saat ini aku telah insyaf atas kekejianku itu. Mata pisau tidak lagi kugunakan untuk melukai atau menyakiti orang lain, tetapi kugunakan untuk menyenangkan orang lain. Kini mata pisau buatku adalah teman dalam hidup yang baik. Buah-buah daganganku dengan mudah kuiris dengan mata pisau dan orang-orang pun menikmati irisan buah-buah yang segar. Aku baru ingat, buah-buahku masih di pinggir jalan. Entah bagaimana nasib buah-buah di gerobakku saat ini.
Pintu ruang operasi pun dibuka dan pemuda itu selamat. Kutemui ia terbaring di kasur sebuah ruangan kelas ekonomi dengan senyumnya yang manis kepadaku. Kuhampiri dia dan kukatakan padanya bahwa dia harus sabar menerima cobaan yang sedang dialaminya. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia setuju dengan kata-kataku. Ditunjukkannya perban pembungkus luka-lukanya kepadaku. Cukup bagi kami bercakap di sana. Wartawan pun berdatangan dan aku segera menyingkir dari mereka. Kuhormati profesi mereka, tetapi saat itu aku sedang tidak ingin diwawancari mereka sebagai saksi mata. Kutinggalkan pemuda itu dengan rasa puas telah membantunya.

***

Suara pintu rumahku diketuk orang pada siang hari. Anakku yang membukakannya. Kulihat wajah yang tak asing lagi di mataku. Heru—pemuda yang selamat dari aksi sadis perampokan satu setengah bulan yang lalu—sudah ada di hadapanku dengan tubuh kekarnya. Ternyata ia benar-benar ingin mengunjungiku. Keinginannya untuk mengunjungiku sudah ia ucapkan saat ia masih dirawat di rumah sakit. “Masuklah dan anggap saja ini rumahmu sendiri!” kataku padanya dengan ramah. Ia pun segera masuk dan menjabat tanganku. Ia terlihat sehat saat itu. Ia tunjukkan bekas-bekas lukanya yang belum kering benar kepadaku. Kukenalkan ia dengan kedua anakku dan istriku. Kutinggalkan sebentar ia di ruang tamu. Dari ruang dapur kudengar suara mereka sedang asyik bercakap-cakap. Kuiriskan buah-buah segar untuknya. Kami pun makan buah bersama dengan nuansa yang sangat akrab. Dia pun pulang dengan sekantong buah-buah segar dari kebun kesayanganku.
Malam pun tiba, kini saatnya kurebahkan tubuhku setelah seharian lebih aku beraktivitas. Sulit sekali aku tidur malam itu. Aku teringat dengan temanku yang masih berada di dalam teralis penjara yang dingin. Kenangan-kenangan kami muncul di otakku. Kuniatkan dalam hatiku untuk membesuknya besok di sana.
Pagi pun tiba dengan sahut-sahutan ayam jantan yang merdu di pendengaranku. Kusiapkan segalanya sebelum kukayuh roda penghidupanku di jalanan yang telah berulang kali kulalui. Hari itu awan hitam sedikit tebal sehingga sinar matahari tidak terlalu menyengat ragaku yang kini semakin menua. Angin bertiup agak kencang menyapu awan-awan hitam itu. Dugaanku hari akan hujan tenyata meleset. Hari itu menjadi lebih terang daripada sebelumnya. Daganganku sudah hampir setengah habis kujual. Kulangkahkan kakiku ke sebuah bangunan tua tempat temanku meringkuk di dalamnya. Sudah sepuluh tahun lebih ia berada di sana atas kesalahannya. Hari ini aku bertatap muka lagi dengannya. Kerutan di wajahnya semakin jelas terlihat olehku. Rambut-rambut putih pun sudah banyak tumbuh di kulit kepalanya. Kutatap matanya dalam-dalam dan kusimpulkan ia sekarang sedang bahagia bertemu denganku. Senyum dengan segera ia torehkan di bibirnya untukku. Sempat ia bertanya kabar mantan istrinya, Fatmawati. Dengan berat hati kukatakan kepadanya bahwa mantan istrinya itu telah meninggal dunia tujuh bulan yang lalu. Kukira ia sudah melupakan mantan istrinya itu. Ternyata masih tersisa serpihan cinta di hatinya. Matanya berair menandakan kesedihan atas kepergian mantan istrinya untuk selama-lamanya.
Segera kualihkan pembicaraan agar ia tidak larut dalam kesedihan. Kukatakan padanya bahwa Budi berhasil lulus dalam tes masuk perguruan tinggi negeri. Budi anakku itu sudah dianggapnya sebagai anaknya juga. Cukup lama kami berbincang-bincang hingga petugas di sana memberitahukan kepadaku bahwa waktu membesuk sudah habis. Kini saatnya aku mengucapkan salam untuk temanku yang sudah kuanggap saudara itu. Kami pun berpisah. Ia kembali ke kurungannya dan aku kembali mengayuh roda penghidupanku. Tinggal tiga tahun lagi ia berada di sana. Aku berharap setelah ia keluar nanti, ia menepati janjinya kepadaku. Ia berjanji tidak lagi berbuat jahat kepada orang lain.
Aku pandangi ruang-ruang rumahku yang sudah lama tidak aku cat kembali. Walaupun rumahku tidak tergolong mewah, aku sangat bersyukur kepada-Nya sudah mendapat tempat hunian yang nyaman bersama keluarga yang menerima dan mencintaiku apa adanya. Kuteruskan hidupku sebagai penjual buah keliling yang menjadikan mata pisau untuk menyenangkan orang lain. Tubuhku sudah tidak sekuat dulu lagi. Tugasku kini adalah mendukung kedua anakku menjadi orang-orang yang berguna bagi agama, bangsa, dan negara. Bersama istriku, aku ingin melihat kedua anakku sukses meraih kehidupan mereka yang bahagia bersama isrti dan anak-anak mereka kelak. Semoga harapanku itu dapat kuraih.

***

Tidak ada komentar: