Dakwahnya Menyentuh Hatiku
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
Seorang lelaki setengah baya berhidung mancung berjalan melintasiku. Kulit jari manisnya dihiasi cincin perak bamata hijau ranum. Bajunya rapi dan terlihat bersih. Lelaki itu berjalan mendekati seorang nenek tua yang hendak manyeberangi jalan raya. Aku terharu malihatnya. Pada masa sekarang masih ada orang yang baik hati mambantu orang lain dalam kesusahan. Lelaki itu kembali melintasiku lagi dan kali ini matanya menatapku sekali.
“Assalamu’alaikum”, lelaki setengah baya itu manyapaku.
“Wa’alaikumussalam”, jawabku dengan agak sedikit bingung.
Aku merasa pernah melihat lelaki itu, tetapi aku tidak ingat persisnya di mana. Ia tersenyum kepadaku kala melintasiku. Aku maneruskan perjalananku ke arah pasar. Aku membeli celana panjang dan baju kaos berwarna merah muda. Saat aku bajalan kembai ke rumahku, aku bertemu kembali dengan lelaki tadi. Saat itu kulihat lelaki itu masuk ke dalam masjid di dekat pasar. Ia terus masuk tanpa menoleh ke rah lain sehingga ia tidak melihatku. Langkahku terus kuayunkan ke arah rumah.
Lelah, penat, gerah, dan lapar sangat terasa sekali olehku setelah aku sampai di rumah. Aku masih teringat dengan lelaki setengah baya tadi. Aku penasaran, siapa gerangan lelaki itu karena aku yakin pernah melihat ia sebelumnya. Sore harinya aku diminta ibuku ke warung membeli telur ayam kampung. Jarak warungnya cukup jauh dari rumah tempat tinggalku. Kupilih lima belas butir telur ayam kampung yang baik pesanan ibuku.
“Berapa Pak harga lima belas butir telur ayam kampung ini?” tanyaku sambil menunjuk telur-telur yang sudah kupilih.
“Enam belas ribu rupiah Nak.”
Sengaja tidak kutanyakan harga per butirnya karena saat itu aku sedang malas manghitung harga sebutir telur dikali lima balas butir.
Aku terkejut, saat aku megetahui uang ibuku ternyata tertinggal di atas lamari hiasku. Setiap kali aku hendak bepergian, aku memang tidak pernah lupa berhias terlebih dahulu. Menurutku penampilan itu termasuk urusan yang penting dalam hidup. Sialnya, dompetku pun tidak kubawa. Pikirku, akan terasa lelah sekali jika aku harus kembali pulang ke rumah mangambil uang itu. Terlintas dalam pikiranku untuk berhutang telur kepada pemilik warung.
“Assalamu’alaikum!”
Aku terkejut mendengar suara salam dari arah balakangku. Suara itu sekaligus memecah pikiranku yang sedang bingung. Kulihat di balakangku. Bertambah terkejutlah aku. Pasalnya, lelaki setengah baya yang bertemu denganku tadi siang sudah ada di hadapanku saat ini.
“Wa’ailaikumussalam!” balasku sekenanya.
“Kamu sedang menunggu jemputan ya?” tanyanya dengan nada bercanda.
Aku heran dengan pertanyaan itu. Pertanyaannya mamberi kesan kalau ia mengetahui tentangku dan tentang pekerjaanku.
“Aku tidak sedang menunggu siapa-siapa.”
“Kamu sedang ada masalah saat ini?”
Lelaki itu rupanya senang bertanya, dalam pikiranku. Ia memang telihat seperti orang terpelajar dari penampilannya.
“Ya, aku sedang ada masalah. Uang ibuku dan dompetku tertinggal di rumah dan saat ini aku sedang bingung untuk membayar lima belas telur ayam kampung yang hendak kubeli.
“Barapa harganya?” ia kembali bertanya kepadaku dan kujawab seadanya.
“Pak, ini uangnya.” Lelaki itu berkata sambil menyerahkan uang kepada pemilik warung.
Aku heran mengapa orang ini senang sekali membatu orang lain. Pohon hidup dengan adanya akar, bergitu pula dengan manusia yang berbuat dengan adanya alasan. Saat kukatakan terima kasih dan bertanya kepadanya mengapa ia senang membantu orang lain, ia hanya mengatakan bahwa kita wajib menolong orang yang sedang mengalami kesusahan semampu kita. Kata-katanya pendek , tetapi penuh arti. Aku saat itu hanya mengangguk-anggukan kepalaku sebagai tanda bahwa aku mengerti dengan perkataannya.
“Kamu tenang saja, uang yang kupakai tadi adalah uang yang halal. Wassalamu’alaikum ”, katanya saat ia hendak pergi meninggalkanku.
Aku tidak berkata apa-apa lagi saat itu kepadanya selain ucapan salam. Kulangkahkan kakiku menuju rumah. Aku masih bertanya-tanya sendiri tentang lelaki itu. Dalam pikiranku, siapa gerangan lelaki itu. Ia mengingatkanku dengan ayaku yang telah lama meninggalkan aku dan ibuku untuk dapat hidup bersama dengan wanita lain. Aku sudah lupa wajah ayahku. Saat ayahku menceraikan ibuku, aku masih berusia lima tahun. Semua foto ayahku pun sudah dimusnahkan ibuku. Aku memakluminya karena wanita mana yang tidak sakit hati ditinggalkan lelaki yang sangat dicintainya. Kulupakan soal lelaki itu dan ayahku, pasalnya aku harus menyiapkan pakaianku untuk kupakai nanti malam.
***
Malam harinya aku kembali melangkahkan kedua kakiku di luar rumah. Banyak orang di jalanan. Ada yang bajalan sepertiku, bersepeda, berkendara, dan banyak juga yang bermobil. Kotaku selalu ramai walau hari sudah malam. Malam itu kupakai celana panjang dan baju kaos berwarna merah muda yang kubeli tadi siang. Aku sering berjalan di malam hari. Saat di tengah perjalanan, hujan lebat menyerangku secara bertubi-tubi. Aku langsung lari ke arah warung bakso yang ada di dekatku untuk berteduh. Malam itu udara sangat dingin. Aroma bakso tercium di hidungku. Perutku menjadi lapar karena menciumnya. Ingin sekali aku makan bakso saat itu, tetapi uangku yang masih bertengger di dompetku sisa sedikit setelah aku membeli celana panjang dan baju kaos yang sedang kupakai ini.
“Assalamu’ailaikum!”
Salam dan suara itu sudah akrab di talingaku. Aku tidak terkejut lagi, melainkan aku bingung mengapa lelaki itu terus mengikutiku.
“wa’alaikumussalam!” balasku.
“Ayo makan! Aku taraktir kamu malam ini makan bakso.”, katanya.
Kami makan bakso bersama malam itu. Aku duduk di sampingnya. Udara malam menjadi teman kami saat itu. Lelaki itu banyak bertanya tentangku, mulai dari namaku, tempat tinggalku, hingga pekerjaanku. Saat lelaki itu bertanya soal pekerjaanku, aku terpaksa mendustainya. Aku katakan kepadanya bahwa aku bekerja bersama ibuku berjualan kain di pasar. Aku berdusta karena aku tidak mau mengatakan pekerjaanku yang sebenarnya kepada lelaki itu. Bakso yang kami makan sudah habis. Hujan pun telah reda. Kini saatnya kami harus berpisah.
Aku merasa lelaki itu sengaja mengikuti aku. Aku juga merasa sebenarnya lelaki itu sebenarnya hendak manyadarkan aku dari parbuatan yang selama ini aku perbuat. Selesai dengan pekerjaanku, aku langsung pulang ke rumah. Terasa lelah sekali tubuhku saat aku kembali di rumah. Kurebahkan tubuhku di atas alas kasur kesayangaku yang empuk. Tak terasa, sudah empat jam aku tidur. Tidurku sangat nyenyak. Saat siang hari, aku sendirian di rumah. Ibuku setiap pagi sampai siang hari berjualan kue pisang di perempatan jalan. Perempuan seusiaku sebenarnya masih duduk di bangku sekolah. Akan tetapi, aku malah di rumah. Aku putus sekolah saat aku duduk di bangku kelas dua Sekolah Lanjutan Menengah Pertama. Tidak ada biaya lagi untukku melanjutkan sekolah. Siang hari pekerjaanku memasak di rumah untuk makan kami sekeluarga. Walau hanya aku dan ibuku, kami adalah keluarga yang bahagia. Biasanya kami makan bersama di samping rumah sambil menikmati hembusan angin yang sejuk dari sela-sela pepohonan milik kami.
“Assalamu’ailaikum!”
Salam dan suara itu sudah akrab di talingaku. Aku tidak terkejut lagi, melainkan aku bingung mengapa lelaki itu terus mengikutiku.
“wa’alaikumussalam!” balasku.
“Ayo makan! Aku taraktir kamu malam ini makan bakso.”, katanya.
Kami makan bakso bersama malam itu. Aku duduk di sampingnya. Udara malam menjadi teman kami saat itu. Lelaki itu banyak bertanya tentangku, mulai dari namaku, tempat tinggalku, hingga pekerjaanku. Saat lelaki itu bertanya soal pekerjaanku, aku terpaksa mendustainya. Aku katakan kepadanya bahwa aku bekerja bersama ibuku berjualan kain di pasar. Aku berdusta karena aku tidak mau mengatakan pekerjaanku yang sebenarnya kepada lelaki itu. Bakso yang kami makan sudah habis. Hujan pun telah reda. Kini saatnya kami harus berpisah.
Aku merasa lelaki itu sengaja mengikuti aku. Aku juga merasa sebenarnya lelaki itu sebenarnya hendak manyadarkan aku dari parbuatan yang selama ini aku perbuat. Selesai dengan pekerjaanku, aku langsung pulang ke rumah. Terasa lelah sekali tubuhku saat aku kembali di rumah. Kurebahkan tubuhku di atas alas kasur kesayangaku yang empuk. Tak terasa, sudah empat jam aku tidur. Tidurku sangat nyenyak. Saat siang hari, aku sendirian di rumah. Ibuku setiap pagi sampai siang hari berjualan kue pisang di perempatan jalan. Perempuan seusiaku sebenarnya masih duduk di bangku sekolah. Akan tetapi, aku malah di rumah. Aku putus sekolah saat aku duduk di bangku kelas dua Sekolah Lanjutan Menengah Pertama. Tidak ada biaya lagi untukku melanjutkan sekolah. Siang hari pekerjaanku memasak di rumah untuk makan kami sekeluarga. Walau hanya aku dan ibuku, kami adalah keluarga yang bahagia. Biasanya kami makan bersama di samping rumah sambil menikmati hembusan angin yang sejuk dari sela-sela pepohonan milik kami.
***
Tidak terasa hari sudah gelap kembali. Aku pun harus mencari uang seperti biasanya. Malam itu malam yang kesekian kali aku bekerja.
“Rat ada orang.”, pak Udin mamberitahukanku.
“Di dalam ya Pak orangnya?” tanyaku kepada pak Udin.
“Ya, masuk saja di kamar 31.”, jawab beliau.
Kumasuki kamar 31. Malam itu terasa berbeda di batinku. Aku terkejut sekali setelah aku tahu orang yang ada di kamar 31 itu lelaki setengah baya yang sering menemuiku.
“Terkejut ya melihatku ada di sini?” tanya lelaki itu kepadaku.
“Ya, aku akui hatiku terkejut.”, jawabku lirih.
“Jangan salah sangka padaku! Aku ada di sini bermodal nekad. Aku sudah tidak tahan melihatmu yang masih sangat muda harus bekerja di tempat-tampat seperti ini.”
“Jadi sebenarnya Bapak sudah tahu tentangku?”
“Ya, benar sekali katamu. Aku sengaja mengikuti dan mencontohkan perbuatan yang baik di hadapanmu agar kamu sadar kalau sebenarnya berbuat baik itu lebih bermanfaat daripada berbuat sebaliknya.”
“Ya, yang Bapak katakan itu benar dan aku salah.”
“Maaf jika kamu beranggapan bahwa aku terlalu cerewet dalam hal ini! Aku ini hanya ingin menyerumu ke jalan kebaikan agar kamu dapat memperoleh kebahagiaan yang sesungguhnya.”
Air mataku langsung mengucur di atas kedua belah pipiku. Lelaki itu tersenyum melihatku. Dalam pikiranku, andai ia adalah ayahku akan kupeluk erat-erat tubuhnya.
“Masih bisakah tobatku diterima-Nya?”
“Mengapa tidak?”
“Senyumku kembali merekah di kedua bibirku.”
***
Setelah malam itu berlalu aku tidak lagi menginjakkan kakiku di tempat-tempat seperti itu. kujalani hidupku dengan normal bersama ibuku yang sangat aku sayangi. Kubuang jauh-jauh kenangan burukku dari kehidupanku. Kini, aku berjualan kue pisang menggantikan ibuku yang sudah mulai tua. Ibuku kuminta untuk istirahat di rumah. Aku meikmati pekerjaanku sekarang. Sewaktu-waktu aku masih teringat dengan lelaki setengah baya yang pernah mampir di kehidupanku itu. Entah siapa sebenarnya lelaki itu.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar