Penulis Sastra
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
Aku mulai mengambil kertas-kertas yang berhamburan di lantai kamarku. Maklum kala itu hari sudah larut malam. Mataku sudah tidak tahan lagi bertahan lama untuk melihat kata-kata yang kutulis. Kulihat mataku di depan sebuah cermin pemberian seorang teman yang telah lama tak kujumpai. Warna putih mataku ternyata sudah berubah menjadi putih campur merah. Aku menyamakan mataku saat itu dengan lampu lima watt yang hampir padam. Terdengar olehku suara tiang listrik yang sengaja dipukul sang penjaga malam dua belas kali. Ternyata memang benar-benar larut malam saat itu. Kurebahkan tubuhku di pembaringan yang empuk bersama tumpukan buku dan bantal yang selalu setia menemaniku dalam setiap tidur nyenyakku. Meskipun sudah agak berbau tidak sedap, kasurku tetap menjadi kasur terbaik bagiku. Sudah setengah tahun aku membiarkannya begitu saja. Aku selalu memiliki alasan untuk tidak membersihkannya. Urusan kuliah adalah alasan yang paling sering kugunakan untuk hal itu. Suatu saat nanti akan kujemur kasurku di bawah panasnya matahari kotaku yang indah di mataku. Jujur, aku ini termasuk orang yang malas dalam hal urusan kamar tidur. Akan tetapi, soal urusan belajar, aku termasuk orang yang rajin belajar. Kuakui bahwa aku belum dapat menyeimbangkan urusan balajar dan urusan rumah termasuk kamar tidur. Kadang aku sering larut dalam asyiknya belajar. Mungkin bukan hanya aku yang seperti itu. Maksudku masih ada orang-orang yang kurang peduli terhadap tempat tidur mereka di luar sana.
“Bangun-bangun!” terdengar suara Suryadi dari luar. Kukira suara itu hanya dalam mimpiku. Ternyata setelah kedua belah mataku terbuka, betapa terkejutnya aku melihat Suriyadi ada di hadapanku. Bagaimana ia bisa masuk pikirku. Padahal seingatku tadi malam pintu kamarku sudah kukunci. Setelah kutanyakan hal itu kepadanya, aku baru tahu bahwa sebenarnya aku lupa mengunci pintu kamarku tadi malam. Wajar saja Suryadi dapat masuk dan membangunkanku dengan mudah di kamarku yang hanya berukuran 3x3 meter itu. Dilihatnya tulisanku yang ada di salah satu kertas di meja balajarku. Ia mambaca dan mancari sambungannya. Sepertinya ia tertarik dengan isi cerita pendekku yang kutulis tadi malam.
“Cerita pendek ini termasuk tugas kuliahmu atau sengaja kaubuat dan kaukirimkan ke surat kabar?” ia bertanya dengan penuh keingintahuan kepadaku.
“Tugas dan sekaligus akan kukirimakan ke surat kabar.”
“Pernahkah cerita pendekmu dimuat di surat kabar?”
“Tidak pernah. Padahal aku sudah sering mangirimkan cerita-cerita pendekku ke surat kabar. Mungkin karena aku kurang mahir menulis cerita pendek sehingga cerita pendekku tidak pernah dimuat di surat kabar.”
“Kalau seperti itu, kamu harus sering menulis supaya menjadi mahir menulis cerita pendek! Soal dimuat atau tidak dimuat di surat kabar urusan belakangan.”
Sebenarnya aku sudah lama menulis cerita pendek dan juga puisi. Saat aku masih duduk di bangku SMA dahulu aku sering menulis keduanya dan ditempel di majalah dinding sekolah. Waktu dulu itu aku belum pernah mengirimkan hasil karya sastraku ke surat kabar karena aku tidak tahu cara mangirimkannnya. Selain itu aku juga kurang parcaya diri menulis di surat kabar saat itu. Tulisan-tulisanku menumpuk di buku catatanku yang sudah mulai kropos dimakan rayap. Jika dihitung, aku sudah menulis sembilan puluh lima puisi dan dua puluh tujuh cerita pendek. Selama kuliah di fakultas sastra, aku sering mendapatkan tugas membuat cerita pendek dan juga puisi dari dosen-dosenku yang kebanyakannya adalah sastrawan senior di kotaku. Cerita pendek yang kukerjakan malam kemarin itu merupakan salah satu tugasku. Jika sesuai jadwal, besok rencananya akan kuserahkan cerita pendek tersebut kepada dosenku yang memberikanku tugas tersebut.. Cerita pendekku itu pun mulai kuketik di komuputer. Bukan komputerku, melainkan milik tamanku yang membuka usaha jasa pengetikan. Lumayan lebih murah mangetik di sana daripada di tempat jasa pengetikan lainnya. Temanku itu bernama Yani. Bukan Akhmad Yani atau nama lelaki lainnya karena ia seorang gadis yang giat berusaha mencari nafkah. Usianya sama denganku, 21 tahun. Tetapi ia sudah lulus kuliah, pasalnya ia hanya mengambil program Diploma II bidang komputer.
Siang itu aku asyik mengetik huruf demi huruf, kata demi kata, dan kalimat demi kalimat hingga mataku lelah dan kuputuskan untuk berhenti sejenak. Kuhela nafasku dan kuteruskan kembali hingga azan salat Magrib berkumandang dari sebuah musala di sana. “Salatlah dulu!” temanku mengingatkanku dengan kata-katanya yang ramah. Aku pun segera menuju musala dan salat berjamaah bersama orang-orang yang tak kukunal. Sekitar jam sepuluh malam aku tiba di kosku dengan membawa hasil ketikanku yang sudah menempel di beberapa lembar kertas putih bersih.
Keesokan harinya aku dan teman-temanku mangumpulkan dan membahas cerita-cerita pendek kami basama-sama di kampus. Dosen kami memberikan kami kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipsi aktif dalam acara tersebut. Setelah kuperbaiki, cerita pendekku itu aku kirimkan ke surat kabar di kotaku. Sudah sebulan kutunggu dimuatnya cerita pendekku itu di surat kabar, tetapi tidak ada juga dimuat. Kemungkinan nasibnya sama dengan cerita-cerita pendekku yang lain, hanya menjadi tumpukan data yang kemudian dihapus dari komputer dewan redaksi.
***
Itulah sekilas ceritaku dalam menulis sastra pada masa lalu. Kini aku sudah berkeluarga dan memiliki dua orang anak yang sungguh membahagiakan. Hidupku lebih banyak kuisi dengan kegiatan-kegiatan di luar sastra. Aku bekerja di bidang komputer bersama istriku yang tidak lain adalah mantan temanku sendiri, Yani. Dalam keseharianku, aku selalu disibukkan dengan urusan jual beli dan perbaikan komputer. Sudah lima tahun aku bergelut di bidang ini. Mulanya aku bekerja sebagai guru sastra Indonesia di salah satu sekolah swasta di kotaku sebagai tenaga honorer. Akan tetapi, pekerjaanku itu tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup bagi keluargaku. Maklum, gajiku selalu kurang untuk rumah tanggaku. Sebenarnya orang-orang di sekitarku selalu meyarankanku agar tidak berhenti dari pekerjaanku sebagai guru sastra Indonesia. Ada lagi yang mengatakan bahwa aku termasuk orang yang tidak bersyukur kepada Tuhan atas nikmat yang diberikan-Nya padaku. Bagiku, setiap orang wajib berusaha untuk memperbaiki hidupnya dan keluarganya. Dalam alur berpikirku, jika sebuah pekerjaan tidak membuat kehidupan kita bahagia, mengapa tidak mencari pekerjaan lain yang lebih baik. Kita tentu harus selalu optimis dalam mengarungi samudera kehidupan ini dengan menatapnya sebagai sebuah kesempatan. Selama kita masih hidup, selama itu pulalah kesempatan itu ada, termasuk kesempatan untuk memperbaiki hidup. Istriku sering menanyakan kepadaku apakah aku tidak menyesal meninggalkan pekerjaanku semula. Jawabku tidak.
Pagi-pagi sekali telepon rumahku sudah berdering. Kala itu aku sedang menemani anak-anaku menonoton acara terlevisi kegemaran mereka. Istriku yang mengangkat panggilan itu tiba-tiba memanggilku dan mengatakan bahwa Aminudin yang merupakan temanku waktu kuliah dulu ingin berbicara kepadaku. Ah! Ada angin apa dia meneleponku pagi-pagi sekali, pikirku. Sudah satu tahun ini kami tidak berhubungan.
“Assamu’alaikum! Ini Hasan?”
“Iya Din, ini aku. Ada apa kamu menelponku sepagi ini?”
“Kamu tentu masih ingat dengan pak Amiransyah. Tadi malam beliau meninggal dunia di rumah sakit.”
Aku sangat terkejut mendengar berita itu. Bagaimana mungkin aku tidak tekejut, baru tiga minggu yang lalu aku bertemu dengan beliau di toko tempatku bekerja. Beliau waktu itu memintaku untuk memperbaiki komputer jinjing beliau yang rusak. Saat itu beliau terlihat sangat sehat. Tidak ada gejala atau tanda-tanda bahwa beliau sakit. Belum lagi aku menanyakan penyebab meninggalnya beliau, Aminudin sudah memberitahukan penyebabnya kepadaku. Sontak aku bertambah terkejut karena beliau meninggal disebabkan oleh kecelakan lalu-lintas. Kutarik nafasku dalam-dalam, aku masih belum percaya sebelum melihat jasad pak Amir, dosenku yang sangat peduli dengan mahasiswanya. Pagi itu juga aku ke rumah duka. Aku sekarang benar-benar percaya.
Masih terbayang wajah dan petuah-petuah beliau di ingatanku. Terakhir kali beliau menyarakanku agar aku tidak melupakan sastra. Beliau memintaku untuk kembali menulis sastra walaupun pada nantinya tulisanku tidak dimuat di surat kabar atau majalah. Aku masih ingat certa beliau kepadaku bahwa dahulu sebelum beliau disebut orang sebagai sastrawan, beliau selalu menulis sastra walaupun tidak dimuat di media mana pun. Karya sastra beliau dimuat atau tidak di media massa, bagi beliau bukanlah sebuah masalah. Karena, yang terpenting adalah kita mau dan mampu berkarya. Bahkan, beliau pernah mengatakan bahwa setelah orang-orang menyebut beliau sastrwan pernah dalam satu tahun hanya satu karya sastra beliau yang dimuat di surat kabar lokal. Setelah kupikirkan, apa yang beliau katakan itu ada benarnya. Walaupun tidak dimuat, aku masih bisa membukukan kumpulan cerpen dan kumpulan puisiku dengan uang hasil kerjaku selama ini.
***
Di sela-sela waktu luangku, aku mulai menorehkan kata-kataku dalam bentuk puisi dan cerita pendek di layar komputer jinjingku. Kita memang harus dapat memanfaatkan waktu luang yang ada di sekitar kita dengan hal-hal yang bermanfaat. Aku menyesal mengapa tidak sejak dulu aku memanfaatkan waktu luangku untuk menulis sastra. Sudah hampir lima bulan aku menulis sastra dan mengirimkannya di beberapa surat kabar. Aku tidak hanya mengirimkannya ke surat kabar lokal langgananku, tetapi juga ke surat kabar berskala nasional. Para pelangganku yang sering di tokoku merasa heran dengan tulisan di monitor komputer jinjingku yang mereka lihat. Samar-samar aku mendengar percakapan mereka. Pak Junaidi—pelanggan tetapku—pernah mengatakan kepada istrinya bahwa aku kurang kerjaan sehingga menulis puisi seperti anak-anak yang mendapatkan tugas dari gurunya. Begitu pula Melda—keponakanku sendiri—sempat bertanya kepada istriku untuk apa aku menulis cerita-cerita fiksi. Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata mereka dan melanjutkan aktivitas menulisku karena waktu luang datang kembali menghampiriku. Memang untuk saat ini masih ada orang yang meremehkan dunia sastra termasuk dalam hal tulis-menulis sastra. Semoga pada masa yang akan datang tak ada lagi orang yang seperti itu, harapku.
Minggu depan aku berencana akan menghadiri acara sastra di kotaku. Tadi siang temanku mengundangku untuk dapat datang di acara tersebut. Katanya acara itu sangat baik untuk dapat kami ikuti. Sudah lama sekali aku absen dalam acara sastra di kotaku. Dahulu waktu aku masih kuliah, aku selalu mengikuti setiap acara sastra, baik yang digelar di kotaku maupun di kota lainnya. Rasa rindu untuk dapat hadir dalam acara sastra mulai meyelimuti hatiku saat ini. Hari mulai gelap dan aku harus menutup tokoku untuk hari ini. Sambil menutup tokoku, aku masih terbayang sosok pak Amir dan dunia tulis-menulis sastra.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar