Bahagia dalam Duka
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
“…Innallaaha laa yughayyiru maa biqaumin hattaa yughayyiruu maa bianfusihim….”, kaset rakaman pertengahan ayat 11 surat Arrad yang sedang diputar orang di masjid membuat Rahman terbangun dari tidur nyenyaknya. Mimipinya masih membayang di benaknya dan matanya kelihatan masih kemerah-merahan. Dilihatnya jam di dinding kamarnya, “Baru jam empat pagi buta.”, katanya dalam hati. Dia rebahkan kembali tubuhnya yang kurus di atas kasurnya yang sudah usang. Matanya yang masih merah hampir terpejam kembali untuk meneruskan mimpi indahnya yang terputus oleh suara dari masjid di dekat tempat tinggalnya. Akan tetapi, rupaya ingatannya soal salat tahajud muncul dalam jiwanya yang setengah tidur. Bergegaslah ia ke arah balakang tempat tinggalnya untuk buang air dan kemudian berwudu. Dengan jalan yang agak sedikit gontai, ia kembali ke kamar dan mendirikan salat Tahajud secara tertib. Walaupun dalam kondisi mengantuk, ia tetap salat dengan khusyuk. Ia memang sering menanamkan salat secara khusyuk kepada murid-muridnya di sekolah tempat ia mengajar. Ia paham betul dengan surah Almukminun ayat 1—2 yang isinya, “Qad aflahal mu’minunalladjiina hum fii shalaa tihim khoo syi’uun”, artinya sungguh beruntung orang-orang yang khusyuk dalam salatnya. Khusyuknya berlanjut dalam doa yang dipanjatkannya di keheningan alam semesta di waktu sebagian orang masih tertidur pulas ditemani mimpi-mimpi mereka.
Dalam doanya ia meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa sebuah pekerjaan yang dipandangnya sangat baik hingga masa tuanya menanti di waktu yang akan datang. Sudah lima tahun ia mengabdikan diri di sebuah Sekolah Dasar yang agak terpencil di kota kelahirannya. Bukan sebagai pegawai negara, melainkan sebagai tenaga honorer yang setia mengemban tugas-tugas negara. Semenjak kelulusannya di sebuah perguruan tinggi, ia setiap tahun mengikuti tes CPNS di kotanya yang tergolong cukup jauh dari ibukota provinsi. Dalam setiap doanya, tidak pernah ia melupakan urusan yang satu itu. Ia selalu menyelipkan permohonan menjadi seorang pegawai negara yang setia kepada nusa dan bangsa. Sudah lima kali ia mengikuti tes CPNS, tetapi selalu gagal. Padahal ia sebenarnya sudah banyak mambaca buku yang berkenaan dengan tes CPNS. Buku-buku yang dibacanya seperti buku Tata Nagara, Kebijaksanaan Pemerintah, dan buku Skolastik.
Setelah salat Tahajud dan berdoa, ia rebahan di atas kasur usangnya hingga waktu Subuh datang menyapa kesunyian dirinya dalam balutan udara yang dingin di ruang berukuran 3x3 meter. Seperti biasanya, ia tidak terlambat datang di masjid untuk salat Subuh berjamaah. Kala itu ia menjadi imam dalam salat Subuh di masjid dekat rumahnya. Sudah menjadi acara rutin baginya, setelah salat Subuh di masjid ia menyiapkan buku-buku untuk dibawanya ke sekolah.
“Rahman!” ibunya yang sangat menyayanginya memanggilnya dari luar kamar.
“Ya Bu”, sahutan Rahman membuat hati ibunya senang.
“Lekaslah mandi, hari sudah terang!” perhatian ibunya selalu mengalir kepadanya. “Selesai mandi nanti, makan saja nasi di meja makan biasa, sudah ibu siapakan!” tambah ibunya.
Hari itu hari Senin, ia harus pergi ke Sekolah Dasar tempatnya mengajar anak-anak yang haus ilmu dan pengetahuan. Tempat sekolahnya cukup jauh juga dari tempat tinggalnya. Jika dihitung secara dengan jari tangan, lebih kurang sepuluh kilo meter jarak antara tempat tinggalnya dan sekolah tempat ia mengajar. Dengan sepeda motor kreditan ia pulang- pergi dari tempat tinggalnya ke sakolah dan sebaliknya. Dia mengajar di sana setelah enam bulan lulus dari program Diploma II di sebuah perguruan tinggi milik negara. Perjuangannya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai tenaga honorer bukanlah sebuah perkara yang gampang, tetapi sangat melelahkan. Dari lima Sekolah Dasar yang ia datangi, hanya satu saja yang mau menerimanya bekerja sebagai guru honorer. Perebutan pekerjaan sebagai guru Sekolah Dasar di kotanya cukup ketat. Meskipun tempatnya mengajar jauh dari tempat tinggalnya, ia tetap tabah menjalaninya. Dalam pikirannya ia bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Esa tidak bekerja di luar kotanya. Seandainya ia bekerja di luar kotanya, ia kesulitan mengurus adik-adiknya yang masih kecil. Ia adalah anak pertama dari perkawinan pertama ibunya. Saat ia berusia delapan tahun, ayah kandungnya meninggal dunia saat menjalankan tugas luar. Enam tahun kemudian ibunya dinikahi oleh seorang pedagang ikan asin dan mendapatkan empat orang anak. Akan tetapi, untung tak dapat diraih, buntung tak dapat dihindari, ayah tirinya menceraikan ibunya. Keempat adiknya sekarang menjadi bagian tanggung jawabnya sebagai kakak tertua dalam keluarganya. Gajinya satu bulan sedikit banyak dapat membantu adik-adiknya sekolah. Olah karena itulah, ia ingin sekali menjadi seorang pegawai negara guna membantu perekonomian keluarganya yang cukup memprihatinkan itu.
Kesabaran tetap menjadi bagian hidupnya dan keluarganya. Ia yakin Tuhan Yang Maha Esa bersama orang-orang yang sabar. Ia juga bersyukur masih diberi nikmat yang saat ini masih dirasakannya dan juga keluarganya. Saat masih kecil ayah kandungnya pernah mengatakan kepadanya bahwa jika kita bersuyukur kepada-Nya, kita akan mendapatkan nikmat yang lebih daripada yang kita terima saat ini. Kata-kata ayahnya itu masih menggores di ingatannya sebagai warisan berharga untuknya.
***
“Man, aku mendengar kabar bahwa bulan Nopember ini ada tes CPNS untuk formasi guru tahun ini”, temannya yang juga mengajar di sana memberitahukan kabar gembira itu kepadanya.
“Alhamdulillah! Kamu dapat kabar itu dari siapa?” Rahman sangat bersemangat saat itu.
“Aku dapat kabar itu dari tanteku yang bekerja di BKD Kota.”, temannya itu menjawab. “Esok kemungkinan beritanya dimuat di surat kabar”, tambah temannya.
Betapa bahagianya ia mendengar kabar itu. Keesokan harinya ia mambaca langsung kabar penerimaan CPNS di surat kabar harian di kotanya. “Alhamdulilah”, sekali lagi ia ucapkan mengetahui kebenaran berita itu. Hatinya semakin bertambah senang karena ucapan temannya itu bukan sekadar omong kosong yang tiada arti, tetapi memang merupakan sebuah kebenaran. Tanpa berpikir panjang, ia langsung ke BKD Kota untuk mendapatkan informasi yang lebih lengkap di sana. Dengan penuh semangat ia mencatat semua persyaratan yang tertulis di papan pengumuman.
Waktu ia berada di BKD Kota, ia tanpa sengaja bertemu dengan teman-teman lamanya sewaktu kuliah dulu. Ada Latifah, Murad, Nuri, dan Nurul.
“Assalamu’alaikum”, sapa Murad, temannya yang terkenal gemar menyontek hasil jawaban saat ujian semester.
“Wa’alaikumussalam”, balas Rahman dengan senyum yang menyungging manis dibibirnya.
“Bagaimana kabarmu?” tanya Latifah kepadanya. Latifah merupakan gadis tercantik di kampusnya dulu. Banyak mahasiswa yang tertarik padanya.
“Alhamdulillah, aku dalam keadaan baik Fah”, jawab Rahman. Kabar kalian bagaimana?” Rahman balas bertanya.
”Kabar kami juga baik sepertimu”, jawab Nuri.
Mereka bebincang dengan asyiknya di bawah pepohonan rindang dengan udara yang sejuk. Hingga lapar pun tidak terasa lagi di perut mereka. Terkadang tawa mereka ikut mewarnai perbincangan yang sekilas seperti acara reuni. Wajah-wajah mereka tampak bahagia. Tak ada goresan kesedihan di wajah mereka termasuk wajah Rahman. Padahal sebenarnya mereka masing-masing adalah saingan dalam perebutan kursi PNS.
Bertambah lengkaplah kebahagian hati Rahman. Kebahagiannya seputar penerimaan CPNS berpadu dengan kebahagiannya bertemu dengan teman-temannya yang lama tidak bersamanya. Setelah lama berbincang, mereka pun bubar bagai kerumunan masa yang membubarkan diri setelah berdemo dengan penuh semangat. Sambil berkendara, Rahman masih mengingat-ingat kenangannya pada masa lalu. Tanpa disadarinya ingatannya tentang seorang gadis pada masa kuliah pun muncul bersama ingatannya yang lain. Sudah lama ia tidak bertemu dengan gadis itu. Jika dihitung-hitung, sudah lebih lima tahun ia tidak bertemu dengan gadis yang pernah hinggap di hatinya yang lembut itu.
Sesampainya di rumah ia rebahkan tubuhnya di lantai ruang tamu yang terbuat dari susunan kayu. Ia pandangi langit-langit rumahnya yang semakin menua. Dalam hati ia berniat akan memperbaiki rumah kediamannya itu jika ia lulus tes CPNS nanti. Bayangannya pecah berkeping-keping tatkala salah seorang adiknya memanggilnya.
“Ka! Ibu menyuruh Kakak makan.
“Astaghfirullah! Kakak sampai lupa bahwa dari tadi kakak belum makan. Untung kamu mengingatkan Dik.”
Seperti itulah di rumah keluarga Rahman, satu kaluarga saling mamperhatikan. Jika ada yang belum makan misalnya, yang lainnya mengajaknya makan. Meskipun mereka hidup serba pas-pasan, tetapi keharmonisan keluarga mereka tetap utuh. Dapat pula dikatakan bahwa kaluarga mereka termasuk keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.
“Ada apa Man sepertinya kamu agak berbeda hari ini?” tanya ibunya.
“Saya hari ini dapat nikmat dari Tuhan Yang Maha Esa.”
“Nikmat apa?” ibunya kembali bertanya.
Rahman pun menceritakan kejadian yang ia alami hari ini dengan penuh bahagia. Ibunya yang mendengarkan ikut tersenyum tanda bahagia.
“Berusahalah Man untuk dapat lulus tes itu dan jangan lupa berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dikabulkan-Nya keinginanmu itu!” ibunya dengan penuh kasih sayang menasihati Rahman. “Kita sebagai manusia wajib berusaha dan berdoa.”, tambah ibunya lagi.
Dengan kesabaran dan tekad yang tinggi, Rahman semakin giat belajar dan berdoa agar ia dapat meraih cita-citanya. “Ka, temani aku malam ini ke pasar membeli celana olahraga untuk kupakai besok!” pinta Maimunah, adik pertama Rahman.
“Insya Allah nanti kutemani.
***
Teringatlah kembali Rahman dengan waktu pelaksanaan tes CPNS yang akan segera dilaksanakan. Hari-hari ia jalani dengan banyak mambaca buku-buku untuk menghadapi soal-soal tes CPNS. Salat tahajud pun tidak lupa ia kerjakan. Akhirnya, hari tes pun sampai juga di hadapan Rahman.
“Bu, saya berangkat dulu ke tempat tes. Saya minta restu Ibu! Doakan saya ya Bu agar dapat lulus tes kali ini!” ucap Rahman. Ibunya mengangguk-anggukan kepala dengan wajah yang penuh restu. Malam berganti siang dan begitu sebaliknya. Tiada berhenti alam ini berputar sebagai tanda kekuasan-Nya. Rahman dengan hati yang kurang tenang terus menapaki jalan hidupnya dengan kesabaran. Liburan sekolah ia isi dengan mendekatkan diri kepada-Nya.
Hasil tes akan segera diumumkan. Pikiran dan hati Rahman saat itu tidak karuan. Penyebabnya bukan karena pengumuman tes itu yang akan diberitakan, melainkan ibunya yang sedang tergolek lemas di ruang IGD Rumah Sakit di kotanya. Sakit ibunya membuatnya sedih bahkan sangat sedih. Betapa tidak, selama ini yang merawatnya dengan penuh kasih sayang adalah ibunya. Akan tetapi, ketika ibunya sakit, ia tidak dapat berbuat banyak karena ia tidak punya biaya untuk perawatan yang lebih baik untuk kesembuhan ibunya.
Tepat sehari sebelum pengumuman tes itu, ibunya menghembuskan nafas terakhir di rumahnya. Ibunya terpaksa dirawat di rumah karena tidak ada biaya lagi untuk merawat ibunya di rumah sakit. Derai air mata segera mengucur keluar membasahi pipi Rahman yang sejak tadi kering. Kini, orang yang sangat menyayangi Rahman telah tiada. Punahlah harapannya untuk membahagiakan ibunya dengan rumah yang bagus dan makanan yang lezat sebagai balas budi kepada ibunya. Hanya satu yang ia akan selalu lakukan untuk kebahagian ibunya, yakni menjaga iman dan takwanya kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kata-kata terakhir ibunya sebelum menghembuskan nafas terakhir.
“Assalamu’alaikum!” sebuah salam dari luar rumah Rahman diucapkan seorang perempun berkulit kuning bersih.
“Wa’alaikumussalam”, balas Rahman dari dalam rumah.
“Man, aku turut berduka atas meninggalnya ibumu kemarin”, ucap perempuan itu.
“Terima kasih banyak atas perhatianmu.”
“Ah jangan kamu lebih-lebihkan! Sebagai teman, sudah seharusnyalah aku seperti ini kepadamu.
“Oh iya, kamu belum tahu ‘kan hasil tes CPNS kemarin?”
“Aku tak sempat memikirkannya Li. Pikiran dan hatiku sedang kacau.”
“Maaf! Aku harus mengatakan hasil pengumuman itu kepadamu. Kamu lulus Man!”
“Kamu hanya ingin menghiburku ‘kan? Aku tahu itu.”
Tak mau berlama-lama, Serli pun menunjukkan fotokopi hasil pengumuman kemarin di hadapan Rahman. Air mata Rahman pun jatuh yang kedua kalinya membasahi pipinya. Ia bahagia bercampur sedih. Ia bahagia karena doanya dan doa ibunya dikabulkan-Nya. Ia sedih karena kebahagiannya hari ini tidak dapat dirasakan ibunya di dunia. Kini, Ia dan adik-adiknya terus hidup bersama hingga dedaunan menguning dan kuncup bunga bermekaran di rumah-rumah idaman.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar