Usia
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
Cerpen Mahmud Jauhari Ali
Sinar matahari mulai muncul di ufuk timur. Sinarnya menerangi hamparan bumi yang semula gelap. Suara ayam-ayam jantan masih terdengar bersahutan-sahutan membangunkan insan yang masih tertidur lelap karena bergadang tadi malam. Kartu-kartu remi terlihat berserakan di pojok sebuah rumah. Udara pagi yang dingin masih menyelimuti sebuah kampung di pinggir sungai Barito. Walau dengan mata yang masih merah, pak Amir sudah sibuk mengangkat dan menata rapi beberapa kotak persegi panjang berwarna hitam. Kotak –kotak itu berfungsi sebagai pengeras suara yang disewa pak Amir dua hari yang lalu. Sementara istri tercintanya sedang sibuk melipati tisu-tisu makan berwarna merah muda. Sudah lama pak Amir memimpikan indahnya janur kuning melambai di depan rumahnya. Kini impian itu bukan lagi sebuah angan semu di benaknya, melainkan sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Hari semakin terang dan dedaunan pun mulai berfoto sintesis menghasilkan klorofil sebelum tengah hari datang menyapa mereka. Erna mulai bersiap-siap tampil dengan penuh pesona yang menawan hati para tamu undangan. Sementara itu terlihat Siti dengan jari-jemarinya yang lihai sedang mendandani rambut Erna.
Tamu yang pertama datang adalah pak Jamal. Hampir setiap ada pesta perkawinan, pak Jamal menjadi tamu pertamanya. Rasa lapar menjadi alasan utama pak Jamal selalu datang paling awal. Kedatangan pria berkumis tebal ini disambut dengan ceria oleh sang pemilik pesta. Senyum pak Amir menandakan kebahagian atas kedatangan tamunya itu. tamu-tamu yang lain pun ikut menyerbu tempat pak Amir. Suara musik yang mendawai-dawai menemani setiap suapan para tamu. Erna telah siap tampil di kursi dambaan setiap wanita yang nyaman untuk bersanding bersama pujaan hatinya. Panas kian terasa mengiringi semakin tingginya matahari di kampung itu. Mempelai pria belum juga datang. Padahal jarak antara rumah keluarga Erna dan rumah sewaan mempelai pria hanya lima ratus meter. Sepertinya ada masalah dengan mempelai prianya.
Arif, seorang pria ganteng asal daerah lain berhasil membuat Erna bertekuk lutut di hadapannya dalam hal cinta. Arif inilah sang mempelai pria yang dari tadi ditunggu kemunculannya oleh Erna sekeluarga. Arif sebenarnya tidak mencintai Erna. Sejak semula ia hanya ingin bermain-main dengan Erna, tetapi Erna menanggapinya dengan serius. Usia mereka cukup jauh berbeda, terpaut lima setengah tahun. Sebenarnya usia bukanlah sebuah hal yang perlu dipermasalahkan dalam setiap pernikahan. Namun, Arif mempermasalahkannya. Baginya tidak wajar jika seorang pria menikahi wanita yang berusia lebih tua daripadanya. Dengan paksaan keluarga Erna, akhirnya Arif tak berkutik. Ia dipaksa oleh keluarga Erna untuk bertanggung jawab atas perbuatannya, Erna sudah hamil dua bulan. Dengan digiring penduduk, Arif pun mau datang dan duduk di samping wanita yang sangat mencintainya.
Senyum manis segera muncul di kedua bibir Erna melihat Arif. “Mengapa kamu datang terlambat?” Erna bertanya dengan lembutnya kepada Arif. “Aku terlambat karena aku malu bersanding dengan wanita yang jauh lebih tua daripada aku!” Arif menjawabnya dengan nada marah dan raut wajah yang sangat tidak menyenangkan hati orang yang mendengar dan melihatnya. Senyum Erna pun langsung lenyap disapu oleh kata-kata Arif. Arif baru saja melukai hati lembut perempuan yang dari tadi menantinya dengan sabar.
***
Pesta perkawinan telah usai dan waktunya kedua mempelai menapaki jalinan kehidupan rumah tangga mereka yang masih sangat hijau. Sebuah keluarga baru pada umumnya penuh dengan bunga-bunga cinta. Kata-kata mesra pun sering pula muncul dalam setiap percakapan pasangan baru. Akan tetapi, rumah tangga baru Arif dan Erna jauh berbeda dengan umumnya rumah tangga yang baru dibangun dengan pondasi cinta dan kesetiaan. Hampir setiap malam mereka lewati dengan kesunyian dan kehampaan hati. Jika tidak, mereka saling menumpahkan kekesalan dan amarah masing-masing. Arif masih bersikukuh dengan pendiriannya dulu terhadap Erna. Sebagai istri, Erna tentulah tidak dapat menerima perlakuan suaminya yang jelas-jelas terus saja menyakiti hatinya.
Pertengkaran demi pertengkaran kerap menyelimuti kehidupan rumah tangga Arif dan Erna. Arif sering datang dengan kondisi mabuk dan berkata-kata yang tidak pantas diucapkan seorang suami kepada istrinya sendiri. Derai air mata selalu tumpah dari mata indah Erna setiap keadaannya seperti itu. Kicauan burung-burung dari pepohonan di belakang rumah sewaan mereka membuat Erna sedikit terhibur pada siang hari tatkala suami tercintanya sedang bekerja. Walau pukulan sekalipun sering menimpa wajahnya, Erna tetap mencintai setulus hati kepada suaminya. Erna bukanlah seorang istri yang dimanja suaminya. Ia adalah istri yang tegar dan setia dalam hidup berumah tangga.
Suatu malam di rumah sewaan mereka terjadi pertengkaran hebat. Arif selalu saja mencari-cari alasan untuk membuat pertengkaran. Tujuannya satu, perceraiannya dengan Erna. Arif selalu ingin menceraikan istrinya itu. Ia sengaja membuat Erna tidak betah hidup bersama dengannya. Malam itu sebuah pukulan dari tangan kanan Arif telak mengenai perut istrinya. Pukulannya mirip dengan pukulan seorang peninju curang yang dengan sekuat tenaga meninju perut musuhnya di atas ring. Darah segar segera mengucur deras ke arah betis Erna. Bukannya sedih melihat kondisi Erna, Arif malah bahagia karena hal itu menandakan akan gugurnya kandungan dari perut istrinya dan tentunya ia akan mudah terbebas dari jerat pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya.
Benar sekali dugaan Arif mengenai kandungan istrinya, Erna harus kehilangan calon bayi yang sangat diharapkanya hadir di tengah-tengah kehidupannya dan suaminya. Harapannya dapat menimang seorang anak kini telah musnah di hadapan matanya. Kesedihannnya belum cukup sampai di situ. Dengan kejamnya, Arif menceraikan Erna yang sedang dirundung kesedihan yang luar biasa. Pak Amir sekeluarga marah besar dengan tindakan Arif ini. Karena ketekadannya menceraikan Erna, Arif diusir dari kampung yang ramah itu.
***
Kini Erna lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Kenangan-kenangannya bersama mantan suaminya itu masih kental di ingatannya. Tidak jarang butir-butir air matanya membuat garis lurus di kedua pipinya yang mulai tidak dirawatnya. Mantan suaminya yang selalu dirindukannya kini tidak pernah lagi menemuinya. Arif kini bak ditelan bumi di mata Erna. Sosok lelaki ganteng berkulit sawo matang yang pernah singgah di sampingnya terasa masih ada di hadapan Erna, tetapi hanya dalam bayang yang tak dapat digapainya lagi. Kadang-kadang Erna tersenyum sendiri mengenang kata-kata manis lelaki itu di kala mereka masih pacaran, walaupun ia tahu kata-kata manis itu adalah bohong belaka. Akan tetapi, setiap senyumnya hanya sekilas pintas mampir di bibirnya. Kesedihanlah yang sering menghampirinya dalam mengarungi hidupnya kini.
Mantan suami Erna tidak sedih seperti dirinya. Arif kini telah memiliki pacar baru. Begitulah Arif selalu memanfaatkan kegantengan wajahnya untuk memikat gadis-gadis yang diinginkannya dan setelah ia puas, gadis-gadis itu pun ditinggalkannya satu per satu. Pacarnya kini adalah seorang gadis cantik berusia delapan belas tahun. Empat tahun lebih muda daripada Arif. Kali ini Arif serius menjalin hubungan dengan gadis belia itu. Gadis ini bernama Laina. Ia adalah seorang anak pedagang beras di pasar. Parasnya cantik dan banyak memiliki teman, baik perempuan maupun laki-laki. Arif dengan keseriusannya berniat menikahi gadis pujaan hatinya yang berusia lebih muda daripadanya itu. Menurutnya, Laina gadis yang sesuai dengan keinginannya dari dulu, baik dari usianya lebih muda daripadanya, parasnya yang cantik, kata-katanya yang lemah lembut, dan ia mencintai Laina.
Laina yang melihat keseriusan Arif, akhirnya bersedia menerima lamaran Arif. Hari yang bahagia mereka tunggu pun akhirnya tiba. Resmilah mereka menjadi pasangan suami istri yang bahagia untuk merajut tali-temali kehidupan yang baru. Hari-hari mereka selalu diwarnai oleh canda tawa dan kelembutan jiwa mereka masing-masing. Kebahagian mereka semakin bertambah tatkala hasil pemeriksaan medis di rumah sakit menyatakan mereka telah mendapatkan karunia berupa calon anak. Keduanya hidup dengan nuansa yang harmonis. Hampir tidak ada percekcokan serius dalam rumah tangga yang mereka bina bersama. Arif sangat menyayangi istrinya dan begitu pula sebaliknya.
Empat bulan telah berlalu, Arif sering membawa Laina periksa di dokter spesialis kandungan. Segala permintaan Laina selalu dituruti Arif. Pernah suatu ketika Laina meminta Arif mencuri mangga milik orang lain dengan alasan hal itu adalah kemauan si bayi. Arif pun tidak ragu menurutinya hingga ia babak belur dipukuli oleh massa. Bulan berganti bulan, dedaunan yang semula hijau pun telah beralih warna menjadi coklat kering tergeletak di tanah. Usia kandungan Laina pun semakin tua. Malam minggu saat bulan sedang tidak purnama, Laina merasa perutnya sangat sakit. Bidan di dekat rumahnya tidak sanggup mengeluarkan bayi yang ada dalam rahimnya. Bidan itu menyarankan Arif agar proses persalinan Laina dilakukan di rumah sakit. Dokter rumah sakit menyatakan bahwa Laina harus segera dioperasi. Arif menjadi bingung dan sangat panik. Pasalnya, bukan hanya keadaan istrinya yang gawat, tetapi juga ia tidak memunyai uang untuk biaya operasi itu.
Baru pertama kali ia sebingung dan sepanik ini. Kebingungan dan kepanikannya membuahkan ketakutan dalam dirinya. Ia takut kehilangan istri dan anaknya yang masih berada dalam kandungan istrinya. Saat itulah ia teringat dengan Erna—mantan istrinya—yang sudah ia siksa dan tinggalkan. Padahal ia tahu bahwa Erna sangat mencintainya. Ia juga teringat dengan peristiwa keguguran yang menimpa Erna akibat perbuatannya. Rasa bersalah campur rasa penyesalan melingkupi ruang jiwa Arif saat itu. Kala itu pulalah ia sadar bahwa dalam sebuah pernikahan yang terpenting bukanlah usia, melainkan cinta dan kesetiaan. Ia hapus pendiriannya tentang pentingnya usia dalam hidup berumah tangga.
Tak pikir panjang, semua harta yang dapat ia jual, ia jual. Belum cukup dengan hartanya, dua kantong darah dari dalam tubuhnya pun ia jual. Uang sudah ia serahkan kepada pihak rumah sakit dan operasi pun telah dilaksanakan oleh tim dokter ahli kandungan. Arif langsung mencari informasi tentang nasib istri dan anaknya dari dokter di rumah sakit itu. Dokter hanya menyarankan agar Arif sabar dan tabah. Anaknya selamat, tetapi Laina tidak dapat meneruskan nafasnya untuk menemani Arif dalam mengarungi samudera rumah tangga mereka. Arif benar-benar sedih kala itu. Kini ia dapat merasakan pedihnya kehilangan orang tercinta dalam hidup di dunia. Dalam dukanya, ia hanya berharap anaknya kelak tidak mengalami nasib yang dialami Erna dahulu dan dirinya sekarang.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar